
Edukasi Ikidangbang Belakangan, masyarakat digemparkan dengan aksi perundungan di SMP Negeri 3 Doko, Kabupaten Blitar saat Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah (MPLS). Videonya viral di media sosial.
Pengalaman tak mengenakkan ini dialami oleh WV, 12 tahun, siswa kelas 7 SMP Negeri 3 Doko. Ia menjadi korban perundungan oleh teman-teman sekelasnya saat hari terakhir MPLS, Jumat (18/7) lalu.
Dari video berdurasi 25 detik yang beredar luas di media sosial, WF tampak tidak berdaya dan terpojok. Sementara belasan teman sekolahnya secara bergantian memukul hingga menendangnya.
Menanggapi insiden tersebut, Pakar Pendidikan Universitas Muhammadiyah Surabaya, Sri Lestari menyebut kasus ini menjadi bukti kegagalan sistem pengawasan sekolah dalam menjamin keamanan siswanya.
“Sekolah seharusnya mampu memetakan potensi adanya perundungan lebih dini. Pencegahan seharusnya menjadi langkah awal, bahkan sejak hari pertama MPLS,” ujar Lestari di Surabaya, Sabtu (26/7).
Menurutnya, perundungan adalah persoalan kompleks yang butuh penanganan menyeluruh. Dalam konteks MPLS, sekolah wajib memiliki panduan tertulis serta aturan tegas soal batasan perilaku yang diperbolehkan.
“Sosialisasi menyeluruh kepada seluruh elemen sekolah juga sangat penting. Jika perlu, diberlakukan sanksi tegas bagi siapapun yang melanggar aturan pelaksanaan MPLS,” sambungnya.
Lestari lantas menyoroti pentingnya pendampingan bagi korban dan pelaku, yang notabene masih berstatus pelajar dan di bawah umur, baik pendampingan secara psikologis maupun pendampingan hukum.
“Jangan menormalkan perspektif ‘namanya juga anak-anak’. Justru karena masih anak-anak, pendampingan harus maksimal agar proses tumbuh kembang mereka tidak terdistorsi oleh pengalaman buruk,” seru Lestari.
Ia menilai peristiwa ini sebagai teguran keras bagi sekolah, Dinas Pendidikan, dan sistem pendidikan nasional, karena mencerminkan nilai anti-kekerasan belum benar-benar kuat dalam budaya sekolah.
“MPLS seharusnya menjadi masa adaptasi yang menyenangkan dan membangun semangat siswa, bukan menjadi ajang kekerasan yang merusak psikis anak sejak awal masuk ke dunia sekolah baru,” tukas Lestari. (*)