Setiap Hari Siswa Sembakung-Nunukan Naik Ketinting ke Sekolah, Biaya Rp 50 Ribu per Orang

Featured Image

Kehidupan Anak-anak di Sekolah Terpencil Sembakung

Setiap pagi, suara deru perahu ketinting mengisi kesunyian sungai di pedalaman Desa Sembakung, Kabupaten Nunukan, Kalimantan Utara. Di atas perahu kayu itu, anak-anak berpakaian seragam putih merah berangkat ke sekolah dengan tas lusuh di punggung. Mereka tidak menuju sekolah di kampung sendiri, melainkan ke Sekolah Menengah Pertama (SMP) di Desa Tagul yang membutuhkan waktu dua jam perjalanan menyusuri aliran sungai.

Biaya transportasi sebesar Rp50 ribu per hari untuk satu orang terasa sangat mahal bagi sebagian besar keluarga petani dan nelayan di daerah tersebut. Bagi Ardiansyah, Kepala Sekolah SDN 002 Sembakung, masalah ini bukan hanya tentang perjalanan sekolah, tetapi juga tentang masa depan 26 siswa yang terancam tidak bisa melanjutkan pendidikan ke jenjang SMP karena kuota penerimaan yang tidak memadai dan kendala akses transportasi.

Meskipun bukan siswanya, Ardiansyah merasa prihatin melihat 26 lulusan SD dari daerah terpencil Sembakung yang gagal masuk ke SMPN 1 Sembakung. Ia menjelaskan bahwa dari total 64 siswa SD yang diterima di SMPN 1 Sembakung, 32 di antaranya berasal dari SDN 002 Sembakung. Tiga SD lainnya yaitu SDN 001, SDN 003, dan SDN 004 memiliki jarak yang lebih dekat ke SMPN 1 Sembakung.

Namun, masalah muncul ketika lulusan dari SDN 005 di Desa Manuk Bungkul dan SDN 006 di Desa Lubakan, yang jumlahnya mencapai 26 siswa, tidak dapat terakomodir dalam penerimaan SMPN 1 Sembakung. Data Pokok Pendidikan (Dapodik) hanya mencatat 64 siswa dari empat SD yang diusulkan sejak awal, sedangkan perubahan kuota belum disetujui oleh Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah.

Salah satu alternatif adalah SMPN 5 Sembakung di Desa Tagul. Namun, perjalanan ke sana membutuhkan perahu ketinting. Dari Desa Lubakan, perjalanan memakan waktu sekitar satu jam, sedangkan dari Desa Manuk Bungkul bisa memakan waktu hingga dua jam. Biaya perahu sebesar Rp50 ribu per orang terasa berat bagi keluarga miskin.

Ardiansyah mengatakan bahwa penambahan satu rombongan belajar (Rombel) di SMPN 1 Sembakung bisa menjadi solusi. Saat ini, sekolah tersebut memiliki tujuh Rombel dari kelas VII sampai IX, namun ruang kelas VII dialihfungsikan menjadi perpustakaan.

Di balik tantangan akses pendidikan, SDN 002 Sembakung juga menghadapi keterbatasan sarana. Meja dan kursi siswa sebagian besar hasil pinjaman dari sekolah lain, kemudian diperbaiki sendiri oleh guru. Banjir besar pada 2023 juga menghancurkan sebagian aset sekolah, termasuk buku-buku di perpustakaan yang rusak akibat banjir. Selain itu, 50 unit laptop bantuan kementerian hanyut karena dipinjamkan kepada siswa untuk belajar daring. Banyak siswa tidak memiliki handphone android untuk belajar daring.

Sejak menjadi kepala sekolah sejak 2014, Ardiansyah tetap berpegang pada stigma positif warga yang melekat pada SDN 002 Sembakung sebagai sekolah penggerak dengan metode mengajar yang maju. Namun, tanpa dukungan sarana dan kebijakan yang mendukung, ia khawatir impian anak-anak di hulu Sungai Sembakung akan terhenti di bangku SD.

Ia berharap pendidikan di pelosok perbatasan bisa merata seperti di perkotaan. "Kami guru-guru di pelosok perbatasan merindukan pendidikan yang merata, agar pendidikan anak-anak kami tidak tertinggal dari kota," ujarnya.

Lebih baru Lebih lama

نموذج الاتصال